Apa Rencana Kita



“Apa Rencana Kita”
Membumikan Budaya Diskusi
Bersama Pemuda Kristen Margasakti


Pertemuan dan diskusi pertama mengenai “Apa Rencana Kita” terasa masih awam di kalangan anak muda Kristen di desa Margasakti. Mereka cenderung menjadi pendengar suatu ceramah atau pidato. Keberanian untuk menyampaikan ide dan pemikiran yang dimiliki dalam sebuah forum yang seharusnya mereka bisa lakukan sama sekali belum nampak. Di sinilah tantangan multiplikator Stube-HEMAT membentuk budaya akademis dengan menumbuhkan pemikiran kritis di kalangan anak muda. Bukanlah hal mudah.


Beberapa pemuda gereja diundang dan diajak hadir dalam diskusi. Kebiasaan berkumpul dan berbicara serius memang sudah mereka kenal, contohnya dalam sebuah rapat. Rapat biasa dilakukan untuk keperluan mempersiapkan sesuatu seperti perayaan 17 Agustus atau lomba desa. Bila tidak ada momen tertentu maka rapat jarang dilakukan. Anak-anak muda terbiasa menjadi pelaku teknis, tetapi tidak pernah dilatih untuk melakukan olah pikir analitis dan kritis.

Bagaimana diskusi diperkenalkan? Diskusi berlangsung di ruang konsistori Gedung Gereja Wilayah Pelayanan MT pada Hari Minggu, 19 Februari 2017 pukul 15.00 WIB sampai dengan 17.30 WIB. Yohanes Dian Alpasa bertindak sebagai narasumber dengan tajuk, ”Apa Rencana Kita?” Mengingat peserta berlatar belakang setidaknya tiga lapis pendidikan yakni SMP, SMA, dan bahkan tidak bersekolah, maka bahasa yang dipakai adalah bahasa seringan mungkin.


Cerita di tanah rantau, Pulau Jawa, menjadi cerita pembuka dimulai dengan kisah meninggalkan tanah Raflesia pada tahun 2005 dan kembali pada 2017, pergumulan dan perjuangan yang dilakukan serta obsesi untuk anak muda di kampung halaman. Dalam paparan ringan, Yohanes memfokuskan pembahasan soal rencana. Masing-masing orang harus punya rencana baik itu rencana pribadi maupun rencana bersama. Setiap anak muda harus berani menyusun rencananya sendiri dan mengambil tantangan.

Pemuda gereja di Margasakti masih harus belajar dan menambah pengalaman. Dari sisi mental dan intelektual masih perlu diasah. Beruntunglah ketika mereka ditanya mengenai kegiatan ini mereka menyatakan mau untuk belajar dan terus berdiskusi serta mengasah mental keberanian. Meski terselip tanda tanya, rasa canggung dan ragu dalam sorot mata mereka. Tidak mengapa, rasa canggung dalam berkumpul dan berdiskusi adalah hal biasa yang pertama kali dialami. Yang dibutuhkan disini adalah kemauan untuk terus belajar. Yohanes bertekad bahwa kegiatan diskusi ini harus membumi dan bukan monopoli anak-anak kota di bangku kuliah.

Dalam hal mempersiapkan diskusi sebagai “mainprogram” Multiplikasi, banyak kendala  ditemui di lapangan. Target peserta sore ini sebenarnya sepuluh orang dari empat belas anak yang diberitahu dan secara pribadi diundang dalam acara ini. Namun, lima pemuda saja yang bisa  hadiri. Sembilan orang pemuda masih harus bekerja mengerjakan kebun, ladang, dan kolam mereka.

Rencana selanjutnya, teman-teman akan membagikan apa yang mereka diskusikan melalui suatu bentuk pertunjukan pada Hari Doa Sedunia yang diselenggarakan 5 Maret 2017 di GKSBS Kurotidur. Teman-teman muda ini akan menampilkan pertunjukan untuk menyampaikan pesan kepada jemaat. (YDA)


Komentar