Melatih Keberanian
Pemuda
Melalui Seni
Pertunjukan
Hari Doa Sedunia yang diperingati oleh GKSBS Kurotidur pada
Minggu, 5 Maret 2017, dalam ibadah berlangsung khidmat dan tertib dengan
dihadiri oleh jemaat dari enam wilayah pelayanan. Tidak semuanya dapat hadir,
tetapi ibadah tetap berlangsung meriah. Hari Doa Sedunia kali ini menggunakan
liturgi dari Filipina yang bertujuan mengajak jemaat untuk mengingat betapa
perempuan telah berjuang menuntut keadilan.
Ibadah berlangsung selama dua jam dan dimulai pada pukul 10.00 WIB
di Gedung GKSBS Kurotidur wilayah pelayanan KT. Majelis dan petugas liturgi
mengenakan kemeja putih disemat stola. Uniknya, tidak ada khotbah yang
disampaikan oleh pendeta tetapi firman diambil dari refleksi bersama yang
dibacakan oleh seorang petugas.
Di sela-sela itulah sekelompok pemain teater ikut ambil bagian.
Tidak lain dan tidak bukan mereka adalah pemuda GKSBS Kurotidur yang dalam
beberapa minggu berlatih bersama dengan Multiplikator Stube-HEMAT di Bengkulu,
Yohanes Dian Alpasa. Mereka adalah Arif Purnomo Sidiq (Sidiq), Dwi Pranaditya
(Adit), Dwi Pujiono (Dwi), Marta Lita Viani (Marta), dan Yunus Eka Prasetyo
(Yunus).
Masing-masing memerankan lakon yang berbeda. Dwi menjadi penjual
tahu goreng dan bakwan. Yunus menjadi penjual panci. Sidiq menjadi pendoa kaya
dan sombong. Adit menjadi pendoa yang miskin. Marta menjadi pendoa yang
sombong.
Tim pertunjukkan mengalokasikan waktu 10 menit. Mula-mula penjual
panci muncul. Lalu mereka melihat seorang beriman dan seorang kaya dengan
sombongnya. Lalu muncul kembali orang-orang miskin yang berdoa penuh dengan
kerendahan hati. Pertunjukkan ditutup oleh Yunus dengan pesan bahwa berdoa itu
tidaklah boleh menonjolkan harta ataupun pelayanan. Cukuplah berdoa dengan
kerendahan hati.
Ada beberapa poin yang coba diajarkan pada anak-anak muda ini. Yang
pertama adalah soal kedisiplinan. Bagaimanapun juga seni pertunjukkan menuntut
setiap anggotanya untuk menghargai waktu dan kesempatan. Sekali saja mereka
lengah maka pertunjukan tidak akan berjalan maksimal.
Kedua, kemampuan bekerjasama. Memahami satu sama lain sekalipun
dalam sandiwara membuat kemampuan bekerjasama meningkat. Hal ini ditunjukkan
dengan interaksi dan kekompakan di antara pemuda yang semakin erat semenjak
terjadi latihan.
Ketiga, kemampuan menyampaikan pesan, pendapat, dan gagasan di
tengah publik. Kemampuan ini memang seyogyanya dimiliki oleh anak-anak muda
yang gemar bersaksi. Namun, gaya hidup yang individual ini membuat kemampuan
itu menurun. Gagasan menjadi tidak mudah terlempar kepada publik. Dengan seni
pertunjukan, pemuda diajak untuk lebih mampu menangkap suatu konsep dan alur,
mengolahnya dalam diri dan mengekspresikan dalam aksi.
Melalui latihan ini, setiap pemuda dilatih untuk aktif dan
kontributif terhadap pelayanan. Bukan hanya soal liturgi, tetapi menyumbangkan
waktu, tenaga, kesempatan, dan pikiran dalam seni pertunjukan. Kiranya
kemampuan dan mentalitas pemuda senantiasa terasah menghadapi tantangan ke
depan. ***
Komentar
Posting Komentar