Minggu 13 Mei
2018, suasana hening menyelimuti hati orang-orang percaya, hari saat kami
menyediakan diri berkumpul bersama sesama memuji Tuhan. Belum sampai tengah
hari, kami sudah mendengar peristiwa pengeboman tiga gereja di Surabaya yang diberitakan
oleh media dan
dikuatkan dengan cerita rekan angkatan Theologia UKDW yang melayani di
Surabaya. Hening berubah menjadi duka ketika mendengar korban yang jatuh dan
terluka baik itu remaja, pemuda, bapak-ibu jemaat, bahkan anak-anak sekolah
minggu.

Multiplikator Stube
memimpin doa dan refleksi untuk menyatakan solidaritas, “Kita tahu ada tiga jemaat
yang tertimpa musibah yakni GKI Diponegoro, GPPS Arjuno Surabaya, Gereja Paroki
Santa Maria Tak Bercela. Apa yang bisa kita ungkapkan atas peristiwa ini?”
“…kami turut
berbelasungkawa,” tulis seorang pemuda yang datang di malam itu. Ia menyatakan
kesedihan. Namun, ia juga berterimakasih pada Tuhan atas kedamaian yang
terpelihara di kampung Margasakti. “…syukur atas keamanan di desa ini,”
imbuhnya.
“Kiranya Tuhan
menguatkan keluarga,” tulis seorang pemuda yang lain. Ia berharap semoga
kejadian ini tidak terulang lagi di kemudian hari.
Setiap orang memiliki
cara sendiri dalam mengungkapkan rasa. Mereka yang diam belum tentu tidak
peduli. Kita lihat di media sosial, beragam aksi solidaritas digelar. Terakhir
kita mendengar bahwa ribuan orang dari berbagai organisasi datang ke GKI
Diponegoro. Mereka datang dari berbagai denominasi dan pegiat lintas iman.
Pihak
Multiplikator berupaya melatih teman-teman pemuda untuk berekspresi dan
menyatakan solidaritas. Aksi doa hening ini menjadi salah satu cara untuk
pemuda menjadi peka terhadap peristiwa sosial yang timbul di masyarakat.

Komentar
Posting Komentar