Berkat roti
untuk dunia dirasakan oleh Pemuda Bengkulu. Aktivis Stube-HEMAT Bengkulu
diundang dalam helatan pertemuan pelajar Internasional di Yogyakarta. Lembaga
Stube-HEMAT menerima kunjungan pemuda Internasional yang studi di Jerman dan
mereka berkesempatan mempelajari suasana pelatihan Stube Indonesia. Dalam
kesempatan ini, Hosani Ramos Hutapea menjadi utusan pemuda dari Bengkulu.
Pelatihan
Stube-HEMAT Yogyakarta bertajuk “Hand in Hand For A Better World” berusaha
memperkenalkan budaya-budaya antar Negara dari berbagai belahan dunia. Selama
tiga hari antara 27–29 Juli 2018, peserta diberi kesempatan berinteraksi baik
formal maupun informal. Pertukaran informasi terjadi di sana. Hosani mengaku
canggung ketika harus berhadapan dengan mahasiswa internasional. Kecanggungan
ini barangkali juga dialami oleh teman-teman lain. Namun, suasana itu tidak
menyurutkan semangat dari teman-teman untuk terus berkenalan dan bertegur sapa.
Hari pertama
dimulai dan teman-teman Stube Indonesia memperkenalkan diri. Perkenalan bisa
menggunakan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Yohanes Dian Alpasa dari
program Multiplikasi Stube HEMAT Bengkulu melihat adanya kesenjangan berbahasa.
Teman-teman pelajar Internasional begitu luwes bercakap dalam bahasa Inggris
dan Jerman. Sementara teman-teman Indonesia menggunakan bahasa Inggris gaya
Indonesia dengan cengkok bahasa lokal yang masih kentara. Dari sekian mahasiswa
yang diundang, sepertiganya masih belum mampu bercakap dalam bahasa Inggris.
Kesenjangan ini harus dikikis, kata Yohanes, oleh karenanya Bengkulu harus
punya sarana pelatihan bahasa Inggris untuk ke depannya. Pada kesempatan itu,
Yohanes juga menyampaikan capaian yang sudah diraih oleh Bengkulu dan beberapa
hal yang masih harus terus dibenahi.
Hari kedua
digunakan oleh mahasiswa Internasional sepenuhnya. Hanna tentang Nasionalisme
dan hal berkaitan dengan dinamika sejarah Jerman. Prapti Maharjan, peserta dari
Nepal, berbicara tentang industri kelapa sawit Indonesia yang diklaim “tidak
berkelanjutan” dan harus ada varietas baru yang bisa menjamin keberlanjutan
pertanian Indonesia. Carlos dari Kuba
berbicara tentang komunikasi global dan penyesuaian budaya, sebuah kompetensi
yang harus dimiliki di era global ini. selalu mulus. Sementara Onno Hoftman
berbicara tentang interreligious dialogue, sebuah faktor penting untuk menjaga
saling pemahaman menuju kehidupan yang damai.
Hari kedua
dalam program itu berjalan mulus. Teman-teman Indonesia menunjukkan keramahan
di tengah kecanggungan berbahasa. Pada hari kedua itulah didapati kesan bahwa
teman-teman Pelajar Internasional cenderung mempelajari situasi terlebih dahulu
baru berusaha membangun komunikasi. Barangkali itulah penyebab mereka terkesan
diam dan mengamati situasi di hari pertama dan kemudian bereaksi di hari kedua.
Bagi pemuda
Bengkulu, usaha untuk sampai kepada kefasihan berbahasa masihlah panjang.
Bahasa Inggris jarang dipakai. Bahasa Indonesia hanya berlaku pada acara
formal. Selebihnya, dalam dialog instansi pemerintahanpun, kita memakai bahasa
daerah. Untuk mampu berinteraksi dengan dunia luar atau luar daerah pun, kita
masih butuh usaha lebih.
Nilai-nilai
dari setiap Negara tentu berharga dan layak dihargai. Setiap orang harus bangga
dengan nilai-nilai luhur yang mampu menyejahterakan masyarakatnya. Sepulang
dari Yogyakarta, ide-ide segar kembali muncul untuk menggerakkan pemuda agar
mau mempelajari budayanya sendiri sekaligus mampu memahami dunia luar yang
penuh tantangan ini.
Program
Multiplikasi Stube-HEMAT Bengkulu ditujukan untuk mendampingi pemuda mengenali potensi
dan masalah yang ada di Bengkulu. Selama ini, program yang berjalan telah
melibatkan pemuda gereja. Pada 2018 ini, program akan banyak melibatkan pemuda
dan mahasiswa. Semoga teman-teman Bengkulu dapat merasakan berkat yang sama
sehingga kemudian mampu memimpin masyarakat. (YDA).
Komentar
Posting Komentar