Sebagian kita
memahami budaya hanya berkaitan dengan kesenian. Kita tidak memahami budaya
sebenarnya adalah segala yang ada dalam kehidupan manusia. Budaya diciptakan manusia
untuk mempermudah keberlangsungan hidup. Pengertian budaya atau kebudayaan berasal
dari bahasa Sansekerta, yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budia
atau akal); diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi, dan akal
manusia.
Menurut
Koentjaraningrat (1985), kebudayaan adalah keseluruhan ide-ide, tindakan, dan hasil
karya manusia dalam kehidupan masyarakat. Koentjaraningrat membagi unsur
kebudayaan universal ini menjadi tujuh bagian yakni: 1) Bahasa, 2) Sistem
pengetahuan, 3) Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial, 4) Sistem
peralatan hidup dan teknologi, 5) Sistem mata pencaharian hidup, 6) Sistem
religi, dan 7) Kesenian.
Indonesia terkenal
dengan kebudayaan yang beragam dan unik. Dari segi bahasa, Indonesia memiliki
berbagai macam bahasa disetiap suku. Kesenian juga beragam berbentuk
tari-tarian, lukisan, anyaman, dll. Namun seiring berjalannya waktu dan semakin
modernnya zaman saat ini, kebudayaan asli Indonesia sedikit demi sedikit
terkikis dan bahkan hampir terlupakan. Menyikapi hal tersebut Program
Multiplikasi Stube-HEMAT di Bengkulu mengadakan diskusi bersama pemuda Bengkulu
(31/1/19) pukul 17.00 WIB, di café Asep Thea. Diskusi dipandu oleh
Hosani Ramos Hutapea dan Sabar Budi Simbolon sebagai pemateri dan pemantik
diskusi. Sabar Budi merupakan pegiat budaya yang ada di Bengkulu. Budaya yang
menjadi fokus adalah budaya nusantara dan budaya Batak. Selain budaya, pemantik
juga bergerak di Rumah Literasi. Diskusi dihadiri oleh 11 orang peserta.
Dari diskusi
kali ini tertuang keresahan-keresahan yang ada dan terjadi di sekitar
lingkungan yang kita tinggali saat ini. Koentjaraningrat mengingatkan perubahan
perilaku dan tindakan-tindakan manusia adalah salah satu sebabnya. Saat ini
tindakan manusia yang beretika, sopan santun, budaya senyum sapa dan salam
telah luntur dengan adanya sikap individual manusia modern. Dulu anak muda jika
bertemu orang yang lebih tua akan menundukkan kepala seraya menyapa dengan
sopan, senyum pada orang lain yang berpapasan di jalan. Budaya seperti ini
sudah jarang dilakukan oleh orang-orang zaman sekarang. Selain itu dalam
berbahasa sehari-hari kita sudah jarang menggunakan bahasa daerah
masing-masing, banyak yang lebih bangga jika menggunakan bahasa kekinian atau
bahasa asing. Hal ini membuat bahasa daerah luntur secara perlahan.
Masyarakat
Indonesia yang identik dengan budaya saling gotong royong dan silahturahmi,
saat ini pun semakin terkikis dengan zaman. Hal ini tampak dari acara-acara pernikahan
yang dulu mengandalkan tenaga tetangga untuk menjadi panitia pernikahan, maka
saat ini telah tergantikan agen jasa penyelenggara pesta pernikahan.
Silahturahmi yang dulu kental dengan saling mengunjungi warga sekitar, kerabat
dekat rumah hal ini tak lagi terjadi dengan tingginya pagar rumah.
Dalam
keberagaman agama Indonesia saat ini sering terjadi intoleransi antar pemeluk
agama. Sikap saling mengasihi dan menghargai perbedaan semakin luntur dengan adanya
sifat eksklusif yang merasa bahwa agama/kelompoknya adalah yang paling benar.
Kemudian yang menjadi fenomena saat ini yaitu adanya pakaian agamis, perempuan
tidak boleh menegur laki-laki, senyum pun tidak dapat terlihat karena tertutup
oleh busananya. Hal ini menujukkan ada kalanya pemahaman agama dan budaya
saling bertentangan.
Kita sebagai
masyarakat yang sadar dan berintelektual sebaiknya menjaga dan melestarikan budaya
yang ada. Layaknya Jepang, mereka mengadopsi budaya lain tetapi tidak
semata-mata menghilangkan budaya asli. Begitu juga hendaknya kita bangsa
Indonesia tidak menerima dengan mentah setiap budaya asing yang dengan bebas
masuk ke budaya kita, kita harus pandai dan bijak dalam memfilter. Dengan itu
kita sebagai pemuda harus memperkaya diri dengan literasi. Karena kita adalah
generasi yang bertanggung jawab atas kelestarian budaya Indonesia. (SAN).
Komentar
Posting Komentar