Topik tentang toleransi
memang menarik. Di dalamnya terdapat fakta dan analisa yang terus berkembang.
Kita bisa memuji daerah dengan tingkat keharmonisan yang tinggi antas
penduduknya. Kita juga bisa prihatin terhadap keakraban yang memudar di dalam
daerah intoleran. Di Bengkulu, toleransi kembali dibahas. Pembahasan dilakukan
untuk melihat kembali perjalanan keharmonisan di Provinsi pantai barat Sumatera
ini.
Yohanes Dian Alpasa,
Multiplikator Stube-HEMAT Bengkulu, mengakui tidak banyak memperhatikan
kehidupan toleransi di daerah ini. Baginya, topik tentang penguatan skill
individu peserta Stube-HEMAT masih menjadi prioritas. Seolah topik ini
dikesampingkan padahal sangat penting untuk dibahas.
Bersyukurlah Stube-HEMAT
Bengkulu memiliki anggota yang mau mendalami topik tentang toleransi. Yedija
Manullang didapuk untuk mengamati proses perjalanan kehidupan toleransi di
Bengkulu. Dalam kurun waktu satu bulan, yakni pada bulan Juli 2019, Yedija
melakukan pengamatan dan berbicara langsung dengan tokoh-tokoh di Bengkulu.
Tokoh yang diajak bicara berasal dari Akademisi, Pejabat kelurahan setempat dan
PGIW Bengkulu.
Jonny Simamora, S.H., M.Hum Dosen Hukum Universitas Negeri Bengkulu |
Pdt. Pakkat Sitinjak, S.Th. Ketua PGIW Bengkulu |
Cak Komarudin, Ketua RT dan tokoh masyarakat di UNIB belakang |
Hasil pembicaraan
kemudian disharingkan kepada teman-teman peserta Stube-HEMAT di Bengkulu.
Respon peserta beragam, ada yang antusias dan ada pula yang santai saja
menanggapinya. Puncak kegiatan sharing diselenggarakan pada 31 Juli 2019 di
Kota Bengkulu.
Hosani Ramos Hutapea
memperkenalkan Stube-HEMAT yang ada di Indonesia. Ia juga berbagi tentang
pengalaman selama tiga tahun bersama Stube-HEMAT Bengkulu. Memang sudah ada
banyak komunitas mahasiswa dan perkumpulan. Kegiatan rohani maupun sekuler juga
sudah menjamur. Namun, Stube-HEMAT tetap berusaha menawarkan cara diskusi baru
dimana kita tidak hanya berdiskusi tetapi bisa praktek. Bila ada kesempatan,
kita juga akan dikirim ke luar Bengkulu untuk belajar lebih.
Yedija Manullang kemudian
membuka sesi berbagi cerita. Ia mengawali paparan dengan cerita kondisi nyata
berdasarkan data dari Setara Institute. Memang sebagian daerah, termasuk
Jakarta, memiliki tingkat intoleran yang tinggi. Tapi kita bersyukur bahwa
masih ada daerah yang mampu menjaga keragaman dan keharmonisan. Perbedaan
bukanlah penghalang untuk hidup bersama.
Berdasarkan informasi dan
pengamatan Yedija, ia mendapati ada dua jenis toleransi. Toleransi internal dan
eksternal. Toleransi internal adalah toleransi di antara sesama umat kristiani
dan gereja. Toleransi eksternal adalah toleransi di antara umat yang berbeda
agama.
Gereja-gereja di Bengkulu
telah berusaha memperkenalkan diri satu sama lain. Menurut Yedija, awal dari
seteru adalah gereja yang satu merasa lebih baik dari yang lain. Gereja yang
ini tidak mau mengenali gereja yang itu. Hari-hari ini, gereja berusaha untuk
mendekatkan diri dan bergaul sehingga tercipta suasana saling mengenal.
Bahan diskusi ini
diharapkan dapat dibagikan pada Program Dialog Agama-agama di Yogyakarta
Agustus 2019. Dengan adanya Stube-HEMAT Bengkulu anak-anak muda memiliki wadah diskusi
dan berinteraksi sehingga kerjasama antar anak muda diharapkan juga semakin
kuat untuk memelihara toleransi khususnya di Bengkulu. (YDA).
Komentar
Posting Komentar