Dari tahun ke tahun
Indonesia masih dihadapkan dengan limpahan kasus yang sebenarnya sudah usang
dan tidak relevan lagi untuk kita bicarakan namun tetap saja masih menjadi
momok yang menakutkan dan sangat berpotensi memecah belah persatuan dan
kesatuan yang ada di dalam negeri ini, yaitu kasus intoleransi. Kasus
intoleransi ada dan bahkan berkembang di Indonesia yang memang beragam dan
majemuk. Kemajemukan beresiko membawa perseteruan dan kegaduhan. Padahal dalam
kondisi yang sebenarnya, keberagaman kita adalah anugerah dan kelebihan Indonesia.
Sebagai contoh keberagaman agama. Agama tidak mengajarkan keburukan, tetapi
kebaikan. Kita boleh beda sebutan istilah, ritual dan cara namun yang paling
penting kita percaya pada keberadaan Tuhan, sang Pencipta. Dengan percaya pada
keberadaan Tuhan, kita diingatkan untuk hidup damai dan merawat Indonesia
sebagai pemberianNya kepada kita. Tidak ada negara yang maju tanpa perdamaian.
Sejatinya perbedaan yang ada tidak menjadi penghalang untuk hidup rukun, damai
dan saling menghargai dengan sudah finalnya ideologi bangsa kita, ideologi
Pancasila.
Provinsi Bengkulu yang
terdiri dari 10 kota/kabupaten termasuk salah satu daerah yang minim konflik intoleransi.
Hal ini dibuktikan belum ada pelaporan atau pemberitaan media mengenai hal
tersebut. Bengkulu yang lahir pada 18 November 1968 memiliki penduduk sekitar 2
juta jiwa didominasi oleh masyarakat yang beragama Islam.
Layakkah Bengkulu menjadi “Role Model” Toleransi di Indonesia?
Setara Institute mencatat
dan meneliti ada 10 kota paling toleran di Indonesia, yaitu : Singkawang,
Kalimantan Barat, Salatiga, Pematang
Siantar, Manado, Ambon, Bekasi, Kupang, Tomohon, Binjai, Surabaya. Setara
Institute juga mencatat ada beberapa daerah yang minim toleransi, yaitu : Aceh,
Jakarta, Cilegon, Padang, Depok, Bogor, Makassar, Medan, Sabang dan Tanjung
Balai. Secara data Bengkulu tidak masuk keduanya. Layakkah Bengkulu masuk ke dalam
daftar daerah yang toleransinya tinggi?
Jonny Simamora, S.H., M.Hum Dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Bengkulu |
Pdt. Pakkat Sitinjak, S.Th. Ketua PGIW Bengkulu |
Eksternal: Kehidupan
sehari dengan perbedaan suku, budaya dan agama sudah bagus dengan tidak adanya
konflik namun perlu ditingkatkan dengan narasi dan percakapan-percakapan yang
lebih intens tentang persatuan. Bahkan di beberapa tempat di daerah Bengkulu
Gereja dan Masjid saling berdiri berdampingan. Kebebasan beribadah pun sampai
saat ini dalam bentuk fisik belum ada pelarangan. Namun beberapa tempat ibadah
belum mendapatkan ijin bangunan dengan alasan tidak memenuhi syarat. Namun ini
bukan menjadi kendala utama, kitalah yang kurang dalam membangun komunikasi di dalam
lingkungan kita.
Cak Komarudin, Ketua RT )3/07 dan tokoh masyarakat di wilayah UNIB Belakang |
Lebih lanjut memang harus
ada penelitian dan pengembangan terkait intoleransi di Bengkulu sehingga dapat
menjawab pertanyaan layakkah Bengkulu menjadi satu model toleransi di
Indonesia. Karena ada beberapa variabel yang harus menjadi dan sebagai syarat
untuk daerah toleran di Indonesia. Namun di provinsi Bengkulu ada salah satu
daerah yang menurut penulis sudah memenuhi kriteria tersebut, yaitu Desa Rama
Agung, Arga makmur, dan Bengkulu Utara. Hal ini dibuktikan dari masyarakatnya
yang pluralis, multikultur, multiagama, multi tempatperibadatan, bahkan di pusat
desa tersebut sempat didirikan monumen rumah-rumah ibadat dari semua agama yang
diakui di Indonesia untuk menghargai keberagaman.
Kita berharap toleransi
yang ada di Bengkulu terus dijaga dan dirawat serta menggalakkan persatuan dan
kesatuan di tengah perbedaan, dengan harapan kedepan Bengkulu menjadi salah
satu daerah yang menjadi role model
toleransi untuk Indonesia. (YDJ)
Komentar
Posting Komentar