Multikultur dan Lintas Iman di Kampus

Oleh Ratna Andriani

Minggu, 16 Agustus 2020, bertempat di rumah multiplikator Stube HEMAT di Bengkulu, enam pemuda-pemudi Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan (GKSBS) Kurotidur wilayah MT berkumpul untuk sharing beberapa cerita serta pengalaman multikultur dan lintas iman. Dalam kesempatan itu, multiplikator menghadirkan Ratna Andriani, mahasiswi tingkat akhir Institut Pertanian Bogor (IPB).

Institut Pertanian Bogor (IPB), merupakan salah satu kampus rakyat yang menerima mahasiswa Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Mahasiswa dan mahasiswi IPB sangat heterogen dengan berbagai suku, agama dan budaya. IPB menyatukan keberagaman mahasiswa tersebut melalui Program Persiapan Kompetensi Umum (PPKU) saat tingkat I dan asrama. PPKU bersifat wajib diikuti mahasiswa selama dua semester pertama, serta berbagai events kampus seperti Gebyar Nusantara. IPB dapat dikategorikan kampus yang cukup menolerir keberagaman agama di lingkungannya.

Walaupun sempat ada beberapa isu mengenai “kampus radikal” dan hal-hal lain yang menyangkut ideologi, hal tersebut tidak berpengaruh terhadap proses kehidupan kampus sehari-hari, baik kegiatan belajar maupun lingkaran pertemanan. Sebagai mahasiswa Kristen di IPB yang merupakan agama minoritas, saya tidak merasakan adanya pengaruh negatif dari isu-isu ideologi dan intoleransi yang ada. Lingkungan pertemanan di departemen/jurusan maupun kegiatan-kegiatan kampus yang lain cukup beragam dari segi suku, agama, dan budaya, hal tersebut malah semakin menambah pengetahuan, pengalaman, dan jejaring pertemanan.

Saya adalah mahasiswi IPB asal Bengkulu, keturunan Jawa. Keadaan tersebut membuat saya lebih mudah beradaptasi di lingkungan kampus yang berada di pulau Jawa. Walaupun civitas akademika kampus cenderung heterogen, tetapi pada akhirnya saya sering bergaul dengan orang Jawa atau dengan orang Kristen yang memang berbeda suku. Ketertarikan yang sama, merasa senasib dan sepenanggungan menjadikan dirinya nyaman dengan circle pertemanan tersebut. Dari sini dapat disimpulkan bahwa manusia akan cenderung berkumpul dengan yang memiliki sifat dan kegemaran yang sama. Sifat mudah beradaptasi memang diperlukan jika kita berada pada lingkungan yang heterogen. Beradaptasi bukan berarti mengubah diri, tetapi menyesuaikan dengan berbagai keadaan yang ada. Toleransi dan sikap saling menghargai sangat diperlukan dalam menghadapi situasi keberagaman, terutama dalam kehidupan kampus. Tujuan kita menempuh pendidikan tinggi selain memperoleh ilmu pengetahuan dan gelar, adalah juga untuk membangun relasi dengan berbagai orang dari berbagai bidang keahlian.

Sharing kali ini membuat teman-teman Bengkulu mengerti bahwa pergaulan di lingkungan kampus penuh dengan nilai-nilai keberagaman dan toleransi. Semoga bisa menjadi semangat pemuda Bengkulu untuk terus membuka diri dan menghargai perbedaan. ***

Komentar