Agama Dan Perlindungan Terhadap Perempuan Dan Anak Di Kota Bengkulu

Oleh: Peemi Guswita Zaluchu.          

Mahasiswa Sem.VI Sekolah Tinggi Teologi Arastamar Bengkulu.          

Saya Peemi Guswita Zaluchu, berikut adalah tulisan hasil kegiatan yang saya ikuti dari komunitas Stube–HEMAT Bengkulu di STTAB (Sabtu, 26/02/2022). Kegiatan dilaksanakan pukul 20.00 s.d. 21.30 WIB, dengan narasumber Dr (c). Samuel Purdaryanto, M.Pd.K., M.Th.

Perempuan dan anak kerap menjadi pusat perhatian karena sering mengalami kekerasan dari kaum laki-laki. Pemerintah Indonesia memiliki undang-undang yang dibuat untuk melindungi anak dan perempuan, juga untuk mengatasi banyaknya kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan ini. Bahkan setiap tahunnya bukan semakin berkurang, justru semakin bertambah, dan terjadi di mana-mana. Kasus yang sedang viral yaitu kasus Heri Wiran seorang ustad yang memperkosa santriwatinya sejumlah 12 orang di Bandung. Pesantren, tempat pendidikan agama yang mestinya menjadi tempat aman justru menjadi tempat terjadinya kekerasan. Kasus-kasus lain terjadi juga di banyak tempat keagamaan yang tersebar di Indonesia.

Bengkulu memiliki 10 kabupaten dan ada 1.054 kasus kekerasan terjadi pada kurun waktu 2019-2021 (sumber: Yayasan PUPA Bengkulu). Tahun 2020 ada 52 kasus menimpa perempuan dan anak-anak usia 0-12 tahun, 13-17 ada 64 kasus, usia 60 ke atas ada 6 kasus. Dari data yang ada bisa disimpulkan bahwa tingkat kekerasan paling tinggi terjadi pada anak-anak dan remaja dan hal ini kurang mendapat perhatian masyarakat. Ada 2 macam kasus kekerasan yang terjadi, 1) dalam keluarga, suami sering beranggapan bahwa istri dan anak adalah milik pribadi sehingga ia bebas melakukan apa saja, 2) dalam dunia pendidikan, kasusnya beragam dan korban rata-rata kelas 6 SD, 3 SMP dan tamat SMA. Awal tahun 2021, seorang wanita sedang hamil di Tanjung Anum, dibunuh suaminya karena tuduhan perselingkuhan istri. LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Konsumen) menyatakan bahwa pada Juni 2021, ada 18 kasus kekerasan dalam rumah tangga, terlebih di masa pandemi yang mempengaruhi keadaan ekonomi keluarga. Hilda Niwati, dari Dinas Sosial Bengkulu menyampaikan bahwa kekerasan seksual sampai November 2021 meningkat dan pelakunya adalah orang terdekat korban, seperti ayah, paman, kakek atau kerabat lain.

Sebagai penutup diskusi terkait lembaga agama dan perlindungan perempuan dan anak, nara sumber menyatakan bahwa agama di Indonesia sebenarnya untuk mencegah kekacauan namun realitanya, masih banyak lembaga keagamaan belum efektif memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak. Meskipun begitu pendidikan agama sangat penting, karena nilai-nilai kebaikan yang diajarkan, seperti sikap saling mengasihi sesama manusia. Peserta diskusi yang merupakan calon-calon pemuka agama harus belajar dari berbagai kasus yang ada untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan perempuan dan anak. (PGZ).

Komentar