Sadar Bencana Alam & Bencana Sosial

Oleh: Kresensia Risna Efrieno          

Selain untuk mendapatkan pengetahuan, belajar juga untuk mencari nilai-nilai kebaikan dari setiap ilmu yang digeluti. Hakekat belajar adalah proses mengubah pola pikir. Namun apakah proses itu hanya sampai disitu? Proses belajar dengan mengalami dan merasakan langsung akan memberi dampak lebih dalam, karena selain mempelajari teori secara kognitif, seseorang sekaligus merasakan apa yang menjadi bagian dari proses pembelajaran tersebut. Ibarat seorang pilot, tidak hanya mengetahui teori penerbangan, tetapi juga masuk ke dalam pesawat dan menerbangkannya.

Proses belajar seperti ini, saya temukan di Stube HEMAT Yogyakarta, sebuah lembaga pengembangan Sumber Daya Manusia, khususnya mahasiswa di Yogyakarta, bahkan tidak saya temukan di kampus atau di kuliah saya. Stube HEMAT menyediakan ruang bagi mahasiswa untuk menemukan pengetahuan serta pengalaman baru, misalnya mahasiswa Teologi mendapatkan kesempatan belajar kesehatan atau mahasiswa jurusan Ilmu Pemerintahan mendapatkan bekal tambahan tentang bagaimana mengelola lingkungan untuk kelangsungan hidup manusia.

Saya mahasiswa Ilmu Komunikasi asal Manggarai, NTT mendapat kesempatan berharga untuk membagikan materi tentang mapping dan manajemen bencana bagi para mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Arastamar Bengkulu dalam pelatihan Stube HEMAT di Bengkulu tentang Perubahan Iklim dan Kelangsungan Hidup (Sabtu, 9/4/2022). Di satu sisi, saya membagikan apa yang telah saya pelajari di Stube HEMAT Yogyakarta, di sisi lain saya mempraktekkan ilmu komunikasi. Bagi mahasiswa Teologi, topik kebencanaan adalah hal baru, tetapi penting untuk mengenal dan memetakan potensi-potensi bencana yang bisa terjadi. Terlebih nantinya para mahasiswa ini akan menjadi pelayan umat. Sebagian besar mengatakan bahwa diri sendiri harus menjadi teladan bagi orang lain. Saya juga menyaksikan kedisiplinan mahasiswa STTAB menjaga kebersihan asrama mereka, bahkan mereka saling akrab dan harmonis menjalin kehidupan meskipun berasal dari daerah berbeda.

Saya juga belajar tentang Bengkulu, kota bersejarah yang dikenal sebagai kota pengasingan Bung Karno (presiden pertama Republik Indonesia) dan memiliki destinasi wisata benteng Marlborough dan pantai Panjang dengan hamparan pasir hitamnya. Meski cuaca panas dan kering, pantai ini memiliki sunset yang indah. Bengkulu tak lepas dari isu sosial yang marak terjadi. Hal ini terungkap dalam dialog bersama beberapa mahasiswa Universitas Negeri Bengkulu adanya nikah muda, hamil di luar nikah, bahkan korban selingkuh terjadi di desa mereka. Fenomena ini sering terjadi dan mulai dianggap biasa oleh masyarakat. Perbincangan ini menghasilkan gagasan bagaimana seharusnya masyarakat dan pemangku kepentingan bertindak dan apa yang bisa dilakukan oleh mahasiswa menyikapi realita tersebut, meskipun diakui bahwa tidak mudah menyadarkan masyarakat setempat.

Harapannya dengan hadirnya program Multiplikasi Stube HEMAT di Bengkulu, anak muda dan mahasiswa di Bengkulu menemukan pencerahan dan terobosan untuk menyadari realita yang terjadi di sekitar mereka dan mampu merumuskan apa yang harus mereka lakukan untuk membawa perubahan baik.

Ya, perjalanan ini adalah bagian dari belajar, yang mana belajar adalah proses menemukan sesuatu yang baru dan menjadi pengalaman. Sama halnya perjalanan ke Bengkulu, ini menjadi proses saling belajar, saya membagikan apa yang telah dipelajari, sekaligus menemukan hal-hal baru tentang Bengkulu yang memperkaya wawasan dan mendewasakan.***

Komentar

Posting Komentar