Oleh Multiplikasi Stube HEMAT di Bengkulu.
Moderasi menjadi program pemerintah dan menjadi program prioritas saat ini. Semangat untuk saling memahami dan mengerti senantiasa harus dipupuk. Keberadaan semangat itu juga perlu untuk disuburkan. Kadangkala semangat moderasi perlu untuk diunggah kembali ketika terjadi perselisihan yang berlatar religi. Stube-HEMAT Bengkulu menggelar diskusi bertajuk “Mengingat Semangat Moderasi”. Diskusi ini ditujukan untuk “menjaga api” diskusi dan menunjukkan geliat aktivitas Stube-HEMAT Bengkulu.
Diskusi kecil ini digelar di STTAB pada 17 November 2023. Iman Kristina Halawa memimpin diskusi dengan membagikan materi tentang moderasi dalam tubuh gereja-gereja injili. Ada saja orang-orang percaya yang meyakini dirinya paling benar, merasa benar, ataupun lebih benar dari yang lain. Namun, kita bersyukur, warga gereja yang menerima perbedaan semakin banyak. Gereja-gereja tidak lagi hanya membenarkan diri dan menyalahkan keyakinan orang lain. Sekarang gereja semakin mampu percaya kepada Kristus tanpa harus memandang orang yang berbeda agama sebagai orang yang salah.
Pemahaman seperti ini terkesan sederhana, namun kadangkala terlupakan akibat banyaknya gagasan yang beredar dan kita renungkan setiap harinya. Kali ini peserta Stube-HEMAT diajak untuk mengingat kembali semangat untuk saling menerima satu sama lain, bergaul dengan menjunjung tinggi kesetaraan, dan perasaan saling menghormati.
Pada kesempatan kali ini, peserta juga berkesempatan untuk menunjukkan pendapatnya. Menurut pendapat Tommy Helfiger Sakoikoi, moderasi beragama yaitu cara pandang, sikap dan perilaku seseorang yang harus dipraktekkan dalam kehidupannya sehari-hari sesuai dengan kepercayaannya. Sebagai contoh moderasi beragama dalam indikator toleransi, kita bisa melihat bagaimana masyarakat Indonesia menjalani kehidupan sehari-hari dengan saling menghargai dan menghormati perayaan agama yang berbeda. Mengapa harus ada Moderasi beragama? Ada tiga alasan pentingnya memahami moderasi beragama. Pertama, sering muncul konflik sosial bernuansa agama. Kedua, adanya potensi yang mengakibatkan pembelahan sosial. Ketiga, adanya potensi yang mengakibatkan tindak kekerasan dan korban. Alasan ketiga inilah yang pernah Tommy rasakan, dimana pada saat melakukan perayaan hari besar kami (Natal), dibubarkan oleh ketua RT dan akhirnya merayakan Natal di rumah masing-masing.
Ponzi menambahkan, seorang teolog harus memiliki kesadaran yang kuat mengenai moderasi beragama, karena moderasi ini adalah salah satu tolok ukur yang harus diciptakan oleh orang Kristen supaya etika pola hidup terlihat jelas sebagai pengikut Kristus yang sejati. Di Indonesia ada berbagai macam suku, agama dan budaya, sehingga untuk mempersatukan ini dengan baik perlu menciptakan moderasi yang baik dan benar dengan tujuan hidup damai dan rukun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut Ponzi, kendala dalam menciptakan moderasi beragama adalah tidak menerima ajaran yang satu dengan yang lain. Mereka menganggap diri paling benar, sedangkan ajaran yang lain tidak. Perspektif ini tidak baik untuk dikembangkan karena dampaknya dirasakan Masyarakat. Seorang teolog berperan di dalamnya dan menjadi teladan menciptakan kedamaian dalam berbangsa dan bernegara.
Moderasi diciptakan melalui komunikasi, sosialisasi, dan kerja sama antara satu dengan yang lain. Salah satu dasar yang harus diciptakan dalam moderasi adalah tempat pendidikan anak, supaya melalui lembaga pendidikan dapat diciptakan suasana yang baik. Jadi, yang menjadi dasarnya adalah sosialisasi dan komunikasi yang baik untuk menciptakan keharmonisan.
Diskusi ini membekali peserta untuk semakin dimampukan untuk menghargai
perbedaan. Hal ini penting, karena peserta program multiplikasi Stube HEMAT di
Bengkulu ini akan menjadi pemimpin umat dan memberikan pengajaran luhur
dimanapun nanti akan melayani Kristus. ***
terimakasih teman-teman Bengkulu sudah aktif dalam diskusi Stube-HEMAT
BalasHapus-Multiplikator Bengkulu, Yohanes DIan Alpasa-